Selasa, 10 November 2015

Cerpen masa lalu

Perasaan yang tak ku pahami

Inspirasi dan imajinasi itu muncul sesaat dan cepat, hampir tak berbekas. Jiwa kembali hampa, pikiran kembali kosong. Entah apa yang harus aku tulis, apa yang mesti aku ceritakan. Semuanya samar, hambar. Rangkaian lagu yang mengalun lewat handphone tak jua memberiku sebuah inspirasi yang bisa aku tulis. Ah, menyebalkan. Bagaimana bisa tulisan ini selesai, bahkan sepatah kata pun tak terpilih menjadi bahan ceritaku kali ini. Mana imajinasi itu? Ku tenangkan pikiranku, ku lapangkan hatiku. Sejenak aku terdiam, merenung, dan mencoba pelan-pelan mengingat masa laluku yang dari Sebagian banyak harus aku pilih yang kemudian aku kembangkan bersama imajinasi dan khayalanku untuk dirangkai menjadi sebuah karangan utuh yang menarik.
Kurang lebih enam tahun yang lalu, ya saat aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Terjadilah Sebuah pertemuan yang ditentukan oleh Tuhan, yang sama sekali tidak pernah terbesit di pikiranku. Sebuah pertemuan gila, tanpa unsur kesengajaan. Seorang lelaki tampan, terlihat lugu dan baik, dengan tatanan rambut yang rapih dan berkulit putih. Ia biasa dikenal dengan nama Osten. Maksud hati ini akan ke kelas sebelah untuk menanyakan PR yang tidak ku mengerti, tapi entah mengapa kaki ini membawa ku untuk melihat nya mengapa dia ada dikelas itu juga.
Alhasil, saat ia hendak masuk. Seorang gadis yang ku kenal dengan wajah cantiknya datang menghampiri Osten ke pintu. Nah, refleks kakiku sedikit-sedikit mundur, berbalik badan dan berjalan menjauh yang kemudian menuju tempat tujuanku semula. Ya, setelah kuingat-ingat ternyata gadis tadi adalah saudaraku dari marga batak ku, namanya Epha. Jadi ya dia masih saudara jauh lah denganku. Umur dia itu lebih 1 tahun lebih tua diatasku.
Sang waktu pun terus berjalan. Dia menjadi saksi bisu atas sebuah HTS (Hubungan tanpa Status), bukan girlfriend Osten dan bukan juga Boyfriend Epha. Ya, aku sendiri tak bisa mendeskripsikan perasaan apa yang tengah terjadi. Aku masih ingat betul, ketika SMP kelas 1 saat pertemanaan berjalan baik dengannya. Hanya saja aku tak mengerti mengapa dia mendekati Epha saudaraku itu, apakah Osten suka dia?
Huh, Aku pun cuek-cuek bebek aja. Terkadang malah sahabatku yang membuat diriku ini bingung tentang perasaan apa yang aku rasakan ini. Di bulan-bulan berikutnya, ada sesuatu hal yang mengganjal bukan karena cemburu, patah hati atau apapun. Tapi suatu rasa takut akan kejadian masa itu aku terulang lagi. Rasa takut akan keadaan yang sebenarnya. Cantik itu bukan aku, tubuh indah juga enggak, pintar nggak begitu dan hal lain yang nggak bisa dijelasin dari sekian banyak alasan yang merasuki dan menjadikan rasa minder itu bertambah besar.
Namun di sisi lain, aku juga tahu dia sering banyak kejadian dalam kehidupanku terekam dalam penglihatannya. Dari mulai aku selalu memandanginya lewat bolongan tangga, ketahuan memperhatikan nya ketika dia sedang menulis dikelas, ataupun cari perhatian dia dengan pura-pura jatuh dihadapannya.
Ketika itu aku mendapatkan nomor teleponnya, dan aku pun mulai dekat dengan nya. Lewat sms maupun telpon, tapi semua itu berawal dari diriku. Ya, karena memang aku yang menyukainya bahkan aku tak tau apakah dia menyukai ku atau tidak. Tapi setelah berbulan-bulan aku sms dia dan telpon dia, suatu saat ia marah padaku mungkin ia tak suka dengan perilaku ku yang terlalu berlebih.
Mulai saat itu aku urungkan niat untuk sms dia dan menelpon dia kembali. Karena perasaan takut itu muncul, aku tak ingin membuat nya membenci diri ini. Ya, aku selalu menunggunya.
Seseorang di sana, aku tak mengerti keisengan, banyolan dan kata-kata kamu sebuah kebenaran atau hanya bercanda. Dan aku pun juga tak mengerti akan tingkah aku yang menganggap kamu seperti pacarku sendiri, tingkahku yang seperti anak kecil, tingkahku yang selalu menjodoh-jodohkan kamu. Aku tak tahu apa yang ada di kedalaman hatiku. Ada suatu perasaan senang, kadangkala kerinduan, namun yang penting saat sms bersama lelaki itu aku tak perlu munafik, harus ini, harus itu. Tak ada yang harus ditutupi. Aku layaknya menjadi diriku sendiri. Kecuali satu hal yang sekali lagi aku tak bisa deskripsikan. Yaitu sesuatu perasaan dalam hatiku.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar